Sang lagenda petualang Indonesia
Siapa yang tak mengenal alm Norman Edwin? Beliau di kenal khalayak, khususnya sebagai petualang yang memiliki multitalenta di berbagai jenis olahraga outdoor.
Bersama Mapala UI, organisasi yang menaunginya, dia aktiv dalam mengembangkan kegiatan mendaki gunung (mountainering), panjat tebing (rock climbing), telusur goa (caving), berlayar (sailing), arung jeram (rafting), menyelam (diving) dan terjun payung. Dari semua jenis outdoor tersebut, hanya diving dan terjun payung kiprah Norman tidak begitu santer terdengar.
Hebatnya, dari berbagai jenis outdoor yang di tekuni, beliau tidak hanya sekedar melakukannya. Beliau di akui sangat ahli dalam hal skill dan jam terbangnya sangat tinggi.
Di mountainering, dia tercatat menelorkan ide pertama kali summit seven (pendakian 7 atap tertinggi tiap benua) ke Indonesia, meski akhirnya harus menghembuskan nafas saat mendaki gunung Aconcagua.
Di arung jeram, dia di kenal sebagai skyper yang handal. Banyak ekpedisi pengarungan yang di lakoni berjalan sukses. Seperti misalnya ketika beliau dan rekan-rekannya mencatatkan diri sebagai kelompok pertama yang berhasil mengarungi Krueng Tripa sejauh 100 kilometer, mulai dari Kala-kuang di Aceh Tenggara sampai Alue Waki di Aceh Barat.
Norman Edwin dan Caving
Sebagai seorang yang memiliki gairah tinggi dalam dunia kepetualangan, Norman Edwin juga ikut meletakkan dasar keilmuan tentang aktivitas caving di Indonesia. Bersama kawan-kawannya dia membentuk Persatuan Speleologi dan Caving Indonesia (Specavina). Kawan-kawannya yang ikut tergabung di sini antara lain dr. Ko King Tjoen, Dr. Budi Hartono, dan Effendi Soleman.
Saat organisasi ini di rintis oleh mereka, ada banyak kendala yang membuat perjalanan aktivitas organisasi berjalan kurang mulus. Salah satu penyebabnya dikarenakan minimnya keilmuan tentang goa. Di tambah ketidaktersediaan perlengkapan yang di perlukan saat ekspedisi penelusuran goa. Saat itu belum ada tempat (toko) yang menjual peralatan caving di Indonesia.
Sementara dalam hal penyebaran keilmuan, Specavina tergolong sangat “selektif”. Hanya mereka yang memiliki latar belakang keilmuan atau yang menyukai pengetahuan tentang speleologi yang boleh bergabung. Specavina sebagai pelopor ketika itu sengaja lebih menonjolkan unsur ilmiahnya (speleologi) ketimbang ”olahraganya”.
Salah satu aspek yang harus diketahui penggemar caving adalah pengetahuan dasar geologi. Terutama bagaimana awal gua itu terbentuk, di daerah mana bisa ditemukan, sifat batuannya, jenis gua, dan sebagainya.
Setelah mengetahui hal ini, di harapkan seorang caver mampu mendeteksi kemungkinan goa dapat ditemukan. Kondisi di kawasan batu gamping (karst) biasanya yang menjadi tujuan utama ekspedisi penelusuran gua. Karena memang di ungkapkan dalam teori spelelogi.
Selain dasar geologi, aspek lain yang tak kalah penting adalah biologi gua (biospeleologi). Dengan memiliki pengetahuan ini, penelusur gua (caver) bisa membandingkan kehidupan di dalamnya: flora fauna antara gua yang satu dengan lainnya. Tidak menutup kemungkinan, jika seorang caver nantinya menemukan spesies baru. Seandainya hal ini di temukan, setidaknya mereka bisa mengetahui cara yang tepat untuk membawa maupun mendokumentasikan sebelum di identifikasi lebih lanjut oleh pakarnya.
Siapa yang tak mengenal alm Norman Edwin? Beliau di kenal khalayak, khususnya sebagai petualang yang memiliki multitalenta di berbagai jenis olahraga outdoor.
Bersama Mapala UI, organisasi yang menaunginya, dia aktiv dalam mengembangkan kegiatan mendaki gunung (mountainering), panjat tebing (rock climbing), telusur goa (caving), berlayar (sailing), arung jeram (rafting), menyelam (diving) dan terjun payung. Dari semua jenis outdoor tersebut, hanya diving dan terjun payung kiprah Norman tidak begitu santer terdengar.
Hebatnya, dari berbagai jenis outdoor yang di tekuni, beliau tidak hanya sekedar melakukannya. Beliau di akui sangat ahli dalam hal skill dan jam terbangnya sangat tinggi.
Di mountainering, dia tercatat menelorkan ide pertama kali summit seven (pendakian 7 atap tertinggi tiap benua) ke Indonesia, meski akhirnya harus menghembuskan nafas saat mendaki gunung Aconcagua.
Di arung jeram, dia di kenal sebagai skyper yang handal. Banyak ekpedisi pengarungan yang di lakoni berjalan sukses. Seperti misalnya ketika beliau dan rekan-rekannya mencatatkan diri sebagai kelompok pertama yang berhasil mengarungi Krueng Tripa sejauh 100 kilometer, mulai dari Kala-kuang di Aceh Tenggara sampai Alue Waki di Aceh Barat.
Norman Edwin dan Caving
Sebagai seorang yang memiliki gairah tinggi dalam dunia kepetualangan, Norman Edwin juga ikut meletakkan dasar keilmuan tentang aktivitas caving di Indonesia. Bersama kawan-kawannya dia membentuk Persatuan Speleologi dan Caving Indonesia (Specavina). Kawan-kawannya yang ikut tergabung di sini antara lain dr. Ko King Tjoen, Dr. Budi Hartono, dan Effendi Soleman.
Saat organisasi ini di rintis oleh mereka, ada banyak kendala yang membuat perjalanan aktivitas organisasi berjalan kurang mulus. Salah satu penyebabnya dikarenakan minimnya keilmuan tentang goa. Di tambah ketidaktersediaan perlengkapan yang di perlukan saat ekspedisi penelusuran goa. Saat itu belum ada tempat (toko) yang menjual peralatan caving di Indonesia.
Sementara dalam hal penyebaran keilmuan, Specavina tergolong sangat “selektif”. Hanya mereka yang memiliki latar belakang keilmuan atau yang menyukai pengetahuan tentang speleologi yang boleh bergabung. Specavina sebagai pelopor ketika itu sengaja lebih menonjolkan unsur ilmiahnya (speleologi) ketimbang ”olahraganya”.
Salah satu aspek yang harus diketahui penggemar caving adalah pengetahuan dasar geologi. Terutama bagaimana awal gua itu terbentuk, di daerah mana bisa ditemukan, sifat batuannya, jenis gua, dan sebagainya.
Setelah mengetahui hal ini, di harapkan seorang caver mampu mendeteksi kemungkinan goa dapat ditemukan. Kondisi di kawasan batu gamping (karst) biasanya yang menjadi tujuan utama ekspedisi penelusuran gua. Karena memang di ungkapkan dalam teori spelelogi.
Selain dasar geologi, aspek lain yang tak kalah penting adalah biologi gua (biospeleologi). Dengan memiliki pengetahuan ini, penelusur gua (caver) bisa membandingkan kehidupan di dalamnya: flora fauna antara gua yang satu dengan lainnya. Tidak menutup kemungkinan, jika seorang caver nantinya menemukan spesies baru. Seandainya hal ini di temukan, setidaknya mereka bisa mengetahui cara yang tepat untuk membawa maupun mendokumentasikan sebelum di identifikasi lebih lanjut oleh pakarnya.
0 komentar:
Posting Komentar