Herman Lantang adalah mantan mahasiswa jurusan Antropologi di FSUI dan
juga mantan ketua senat Fakultas Sastra Universitas Indonesia pada tahun
60 an. Herman Lantang juga salah satu pendiri Mapala UI dan pernah
menjabat sebagai ketuanya pada tahun 1972 - 1974. Herman Lantang adalah
sahabat dari Soe Hoek Gie yang pernah menjadi inspirator gerakan demo
long march mahasiswa UI untuk menggulingkan pemerintahan Soekarno pasca G30 S dan semasa Tritura.
Sampai sebelum film biografi "GIE"
muncul di layar perak, tak banyak orang yang menggubris kehadiran tokoh
yang satu ini, kecuali, lagi - lagi, komunitas pencinta alam, yang
sangat mengagungkan sikapnya yang tetap rendah hati.
Sebenarnya, pria tua yang kini lebih banyak menghabiskan sisa hidupnya di rumah, dilahirkan di sudut kota kecil Tomohon, sebuah kota administrasi di propinsi Sulawesi Utara, 67 tahun silam. Dalam buku baptisnya ia diberi nama: Herman Onesimus Lantang.
Kegemarannya terhadap alam pun mulai timbul ketika ayahnya yang saat
itu berprofesi sebagai tentara sering mengajaknya keluar - masuk hutan
di kawasan Tomohon untuk berburu. Dari situ, lambat laut, kecintaannya
terhadap hutan yang sarat aroma sarasah dan petualangan timbul.
Lalu, setelah tamat dari Europrrshe Lagere School SR GMIM4 ( setaraf SD ), Herman kecil melanjutkan ke SMPK Tomohon.
Herman mulai hijrah ke ibukota bersama orangtuanya yang saat itu di
pindahtugaskan ke daerah baru. Kemudian di Jakarta inilah ia melanjutkan
kembali pendidikan formalnya, ketika di terima di SMA 1 ( Budi Utomo ) pada tahun 1957.
Tak puas sampai disitu, Herman mulai melirik perguruan tinggi yang
menurutnya akan memberikan sistem pendidikan terbaik. Saat itu, di tahun
1960, melalui segudang test yang cukup rumit, ia pun berhasil di terima
di Fak. Sastra Universitas Indonesia, Jurusan Anthropologi
yang banyak berkutat dengan kebudayaan dan perilaku manusia sejak
mulanya. Melalui jurusan ini pula ia sempat melakukan penelitian
mendalam terhadap perilaku suku terasing Dhani di Papua pada tahun 1972, yang mengantarkannya mencapai gelar sarjana penuh.
Selama menjadi mahasiswa, pribadi yang tangguh dengan idiologi
sosialisnya mulai terbentuk. Melihat banyak rekan - rekan seangkatannya
yang lebih memilih jalur politik praktis untuk mencapai kemapanan. Ia
dan rekan lainnya malah memilih alam sebagai media pengembangan diri.
Menurutnya, hanya di alam kita bisa mengenal karakter masing - masing
yang sebenarnya. Tak ada yang tersembunyi. Di alam pula kita bisa memupuk rasa solidaritas dan kecintaan terhadap ciptaan Tuhan yang bisa dinikmati.
"Politik tai kucing", Begitu tutur Herman Lantang, sahabat Soe Hok Gie
ketika senat mahasiswa tidak menjadi sesuatu seperti harapan Soe serta
kawan - kawannya yang lebih memilih menikmati film dan naik gunung bukan
serta - merta mengidentifikasi dirinya dalam organisasi mahasiswa
tertentu di dalam kampus. Dalam jurnal harian Soe yang kemudian
dibukukan dan dicetak oleh LP3ES "Catatan Seorang Demonstran", Gie juga menulis bahwa politik itu kotor.
Kemudian, ketika tak lagi berkegiatan di dalam kampus, jiwa petualangan
pula yang membuat Herman bisa di terima di beberapa perusahaan
pengeboran minyak ternama, seperti: Oil Field all part of Indonesia, East Malaysia Egypt dan Australia East Texas USA.
Di perusahaan tersebut ia lebih terkenal sebagai Mud Doctor, yang
menangani masalah lumpur - lumpur dalam pengeboran minyak bumi. Sebuah
pekerjaan yang memang sangat jauh dari disiplin ilmu yang dulunya hanya
Fakultas Sastra. Namun untuk profesi barunya itu, ia tidak main - main.
Herman bahkan sempat mengecam pendidikan singkat di Houston Texas pada
tahun 1974 mengambil studi tentang "Mud School".
Kini, Herman O Lantang, sahabat tokoh pergerakan mahasiswa 1960 - an Soe Hoek Gie,
sudah pensiun bekerja dari perusahaan minyak. Pria uzur yang ternyata
sangat suka wisata kuliner ini memendam bakat dalam memasak. Sehingga
jangan heran, ketika berkegiatan di alam bebas, hasil masakan bang
Herman, pasti langsung habis dilahap.
Kecintaannya terhadap dunia boga ini pula yang membuatnya banting stir
menjadi pengusaha toko kue sejak dua tahun silam. Dengan modal ala
kadarnya, rumahnya di bilangan Jagakarsa, Jakarta Selatan pun disulap
menjadi toko kue "Kelapa Tiga Taart Tempo Doeloe", yang menjual aneka panganan kue - kue klasik yang menurutnya agak susah ditemukan di Jakarta.
Si pemilik nomor anggota Mapala UI ( Mahasiswa Pencinta Alam
Universitas Indonesia ) M 016 UI, yang juga mantan ketua Mapala UI (
1972-1974 ), ini lebih banyak berkutat dengan ide - ide pembuatan kue
istimewa, selain menjadi pembicara di seminar - seminar yang berhubungan
dengan kegiatan alam bebas.
Didampingi oleh satu dari tiga anaknya, ia memasak sendiri kue - kue
itu. Herman mengaku memiliki banyak buku resep kue klasik Belanda, sebut
saja oentbijkoek dan klappertaart. Selain itu, ia juga punya tante yang
jago masak kue Belanda. Biasanya di suatu kesempatan sang tante akan
menularkan kemampuannya memasak kepada keluarga yang lain.
KELUARGA PENDAKI
Menularkan kecintaan pada gunung dilakukan Herman sejak awal kepada istrinya, Joyce Moningka, dan dua anak mereka, Erol Lantang dan Cernan Lantang.
Langkah pertama adalah pada sang istri yang bukan ”anak gunung”, karena
paling banter piknik ke kawasan pegunungan. Awalnya, Herman membawa
mereka ke lembah Mandalawangi - Pangrango, berangkat dari Cibodas.
"Saya kawin telat. Usia saya waktu itu 41 tahun sedangkan istri
saya 29 tahun. Beda usia kami jauh sekali, tapi kami sangat mesra sampai
sekarang karena ya itu tadi, sering jalan - jalan ke gunung."
Pada Oktober 2007 dia mengalami kecelakaan saat bekerja di Balikpapan
sehubungan dengan pofesinya sebagai seorang ahli pengeboran. Namun,
tidak menunggu lama untuk istirahat, laki - laki asal Tomohon ini naik
gunung lagi. Dalam kondisi kaki pincang, ia mendaki Gunung Mahawu di Sulawesi Utara sebagai tahap penyembuhan. "Dua minggu lagi saya ke Pangrango. Kuncinya adalah persiapan," nada Herman mantap.
Persiapan inilah yang menurut Herman seringkali diremehkan para pendaki
berusia muda. Ketika ke Gunung Gede yang dianggap memiliki tingkat
kesulitan rendah, Herman tetap berpakaian lengkap, yakni baju lengan
panjang, celana panjang, bersepatu, dan membawa trekking pole ( sepasang
tongkat untuk mendaki ), sementara itu, tak sedikit ia temui pemuda
bercelana pendek dan bersandal gunung saja saat mendaki atau saat turun
gunung.
"Saya dan istri bisa terus menikmati gunung sampai sekarang kami sama - sama tua ini karena mendaki dilakukan dengan benar. Naik gunung bukan olahraga yang berbahaya kok"
Bertanya apa enaknya naik gunung tentu akan mendapat jawaban berbeda
antara pendaki yang berusia muda dan pendaki yang sudah makan asam garam
macam Herman. Di usianya kini tujuan Herman ke gunung hanyalah untuk
merasakan udara bersih. Gunung juga jadi "tempat berobat" untuk
penyakit - penyakit ringan. "Kalau pilek atau batuk ringan saja,
pergilah ke gunung. Begitu turun gunung, pasti sembuh. Di gunung
udaranya bersih, bisa menghilangkan penyakit."
Belakangan ini, perhatian Herman banyak tertumpah ke buku yang sedang
digarapnya yang membahas 85 gunung di Pulau Jawa, termasuk gunung -
gunung kecil macam Gunung Sanggabuana di Karawang Jawa Barat.
Kegiatan mengumpulkan materi ini agak tertahan setelah kecelakaan.
"Sekarang, saya sedang butuh petualang untuk meng-up-date apa yang sudah
saya tulis sekaligus menyelesaikannya." Petualang muda, ada yang mau?
0 komentar:
Posting Komentar